Maulid Oh Maulid
Besok maulid,
perayaan maulid di SD adikku. Katanya berbagai lomba akan digelar di sana. Dan
adikku ingin sekali mengikuti salah satu lombanya “Peragaan busana muslim”.
“Kak, besok empat hari lagi disekolahku ada maulid.”
Katanya padaku dengan senyumnya.
“Lalu?”
“Aku mau ikut
lomba di acara maulidnya, kak. Lomba peragaan busana muslim.”
“Kamu mau pakai baju apa? Bukankah
pakaianmu sudah kurang bagus? Lagipula kalaupun beli itu kan tak mungkin.”
“Aku mau minta sama ummi aja deh,” dan
iapun mengatakan niatnya pada ummi. Dari kejauhan, engkau mengangguk, ummi.
Kulihat pada gerakan kepala muliamu itu, ah, aku tak dapat melihat, namun
hatiku mampu merasakan. Ummi.. empat hari bukanlah waktu yang panjang untuk
mencari uang untuk sekedar membeli gamis baru untuk adik, atau bahkan sekedar
menjahitnya. Membeli? Makanpun hanya dengan nasi dan lauk yang dibagi tiga,
bagaimana mau membeli? Andai abi....
Siang itu juga kau menuju pasar, ummi.
Menanyakan harga gamis manis berenda dengan warna cokelat muda itu. Seratus
tujuhpuluh lima ribu kata sang penjual dan kau hanya tersenyum lalu pamit,
dengan tangan hampa kau menuju rumah. Air matamu tertahan saat kau melihat si
adik, terganti senyummu. Ah, ummi, bahkan engkau masih sanggup tersenyum saat seharusnya
engkau mengurai air mata dan menangis.
Malamnya, aku melihatmu melalui mata
hatiku. Kau membongkar tabunganmu, menghitungnya. Seratus ribu, gumammu, dengan
gumaman yang mengiris batinku. Petang tadi, engkau hanya makan sesuap nasi
putih, telur dadar hambar tanpa garam yang dibuat olehmu hanya dibagi dua
untukku dan adik. Satu berdua.
Seusai menghitungnya, kau keluar dan
membasuh beberapa organ tubuhmu, berwudhu. Lalu masuk kembali untuk menunaikan
enam rakaat shalat tahajjud yamg dilanjut tiga rakaat witir dengan air mata
yang tak hentinya mengalir. Kau tangguh, namun hatimu begitu suci untuk mengaku
lemah dihadapan-Nya.
Jam masih menunjukkan pukul tiga dinihari.
Kau telah terbangun untuk memasak makanan yang akan kau jual. Mencuci pakaian
yang semalam dititip tetangga untuk kau cucikan. Dan terakhir, pukul lima
subuh, kau telah bersiap menjadi buruh di pasar tradisional yang berjarak
hampir empat kilometer dari rumah dengan berjalan kaki. Ya ummi, tak sanggup
aku membayangmu. Andai ada hal yang mampu kulakukan...
Siangnya tak lantas kau diam, engkau
menyeterika pakaian tetangga yang telah kau cuci. Lalu mengantar ke rumahnya,
mengetuk pintunya sampil membawa pakaian yang telah tertumpuk rapi, dan
berdo’a, berharap Allah menitipkan rezeki-Nya melalui perantara hamba-Nya
sedikit lebih banyak dari biasanya. Kau lupa akan makan dan minummu, bagimu,
nafas sudah lebih cukup dari apapun, nafasmu adalah do’amu, do’a untuk
anak-anakmu yang terkadang justru sering merepotkanmu, tak mungkin—katamu—mampu
hidup tanpa bernafas. Yang kau ingat hanya ingin membahagiakan anak-anakmu dan
mencurahkan cintamu pada-Nya.
Malamnya, seperti sebelum-sebelumnya,
telur dadar hambar yang dibagi dua untukku dan adik, dan hanya sesuap nasi yang
kau makan dengan alasan ‘Ummi tidak lapar, nak’.
Hari demi hari seakan berlangsung begitu
saja, hanya meninggalkan serpihan-serpihan keletihan di wajah muliamu, ummi.
Uangmu, untuk pagelaran busana itu, masih kurang, ummi. Bahkan kau menunda
untuk membayar kontrakan kita, demi mengukir senyum di wajah anakmu. Ummi...
Bukankah hari ini adalah hari ketiga?
Besok sudah pagelaran busana itu, ummi. Sudahkah uangmu terkumpul untuk
mengukir senyum di wajah adik? Sudahkah
engkau bersiap mengurai senyum berair mata bahagia atas senyum anak terakhirmu,
anak yang fisiknya tak kurang suatu apapun? Anak yang engkau kandung di rahimmu
selama sembilan bulan dan melahirkannya dengan perjuangan antara dunia dan
akhirat?
Kau hitung lagi uang tabungan yang kau
kumpulkan, jumlah yang masih sangat kurang jika engkau tidak meminta keringanan
harga pada si empunya toko. Kau menggenggam uang hasil tetes peluhmu dan
berjalan penuh semangat menuju toko yang telah kau janjikan tiga hari yang
lalu. Senyummu merekah, membayang wajah gembira si adik. Tapi, apa yang kau
dapatkan? Gamis impian adik telah terjual! Nyaris kau luruh ke tanah. Hatimu
retak, senyum si adik mendadak terhapus dari anganmu. Hasil jerih payahmu—untuk
gamis murah dan bagus satu-satunya itu, gamis impian anak bungsumu—sirna sudah.
Air matamu nyaris menetes, ummi. Wahai ummi, tersenyumlah. Genggam tanganku
untuk membantumu berdiri.
Semangatmu kembali. Kau tak lantas
menyerah. Kau sambangi toko kain, membeli kain panjang berwarna cokelat muda,
warna yang begitu manis dan sederhana. Kau pandai memilih, ummi. Kau lantas
pulang, menuju mesin jahit tua peninggalan abi. Memotong kain dan mulai menjahitnya, air matamu terurai,
ummi. Siang berganti petang, tak ada jeda bagimu untuk berhenti dan
beristirahat selain tur spiritual untuk berbicara pada Allah melalui do’a-do’a
di setiap sujud panjangmu dalam shalat yang penuh kesyahduan. Tak ada kata
makan dan minum menurutmu saat engkau menjahitnya. Mendadak kau terbatuk, ummi.
Tanganmu menggenggam darah bercampur dahak. Kau sakit ummi? Apakah itu akibat
terlalu seringnya udara malam menyambangimu? Kau sakit, dan selama ini kau
sembunyikan dariku? Ummi, maafkan anakmu yang tak seperduli engkau padaku.
Tapi, batuk itu tak menghentikanmu, ummi.
Engkau terus menjahit, walau batuk itu berkali-kali datang dan berkali-kali juga
darah itu terurai. Berkali-kali pula mesin jahit tua itu berulah merepotkanmu,
tapi tak terdengar sedikitpun keluhan darimu, yang ada hanya beberapa nama-Nya
melantun dari mulutmu yang begitu mulia. Ah, ummi..
Malam telah larut, dan kau masih terjaga
untuk menyelesaikan gamis yang tiap jahitannya tersurat cintamu, untuk anak
bungsumu. “Sudahlah, mi, ada baiknya ummi tidur dulu.” Ujarku. Namun, kau
menjawabnya dengan halus. “Tanggung kak, sebentar lagi.” Tak terasakah lelah
yang menumpuk di bahumu?
Adzan subuh berkumandang, tepat saat kau
menyelesaikannya. Seusai shalat subuh, kaupun rehat. Kau memintaku untuk
menunjukkan gamis—yang kuyakin indah—itu pada adik, kau berkata, kau begitu
lelah dan harus beristirahat. Adikku terbangun, dan minta ditunjukkan gamis
yang ia minta untuk peragaan busana itu. “Kak, gamisnya mana?” tanyanya. Aku
menyerahkan gamis jahitan ummi padanya, dengan senyum dan kemantapan hati. Ia
meraihnya, dan membolak-baliknya. Aku tersenyum, aku yakin adik akan suka. Itu
gamis dengan semangat terbaik seorang ibu, dik.
“Apaan nih?” nada suaranya terlihat
kecewa, bahkan marah.
“Itu gamis yang dijahit ummi untukmu.
Bukankah itu adalah gamis yang indah?”
“Apanya? Apanya yang indah? Kau buta
karena itu kau tak bisa membedakan mana yang indah dan mana yang amburadul.”
Dia menyebutkan kekuranganku. Aku memang
tak sesempurna dirinya, aku cacat, dan ummi sendiri tak mempersoalkan hal itu.
Aku tak tahu apa itu indah, bagiku, perjuangan ummi adalah yang terindah.
Apakah itu salah?
Jam menunjukkan pukul 6, dia menghina gamis
itu tapi dia tetap menggunakannya. Aku yakin, dia cantik. Dia lebih dari
sekedar cantik. Dia akan terlihat begitu manis. Do’aku menyertainya. Dan diapun
berangkat.
Aku membangunkanmu, ummi. Tapi engkau
masih terlelap dalam tidurmu. Apakah itu adalah mimpi yang panjang nan indah?
Akupun membiarkanmu beristirahat, tidurmu begitu lelap, ummi. Ah, andai aku
dapat melihat wajahmu yang mulia itu.
Sebelum dzuhur, adik pulang. Dari jauh aku
mendengar teriakannya memekik, menyebut panggilanmu, ummi. Ia menjuarai lomba
itu! Juara atas gamismu, gamis yang dibuat penuh cintamu. Takkah kau bangga,
ummi? Ummi? Apakah kau tak hendak terbangun dan melihat senyum anak bungsumu
yang kini bersimpuh dihadapanmu? Bersimpuh untuk mengucap terimakasihnya
padamu. Lihat senyumnya, ummi..
“Kak, ummi.. apakah ia tak mau bangun?”
tanyanya padaku.
Sebentar, sepertinya aku mengetahui arah
ucapannya. Maksudnya kau telah.. Ummi? Bangunlah, lihat senyumnya. Ummi,
bangunlah, jangan terbuai mimpi, kami membutuhkanmu, ummi. Ummi tolong,
tanganmu dingin, ummi..
Aku terkesima, lengkingan jerit adikku
menyadarkanku...
“Ummi, tunggu aku di surga-Nya. Aamiin.”
Catatan
kecil: Cerpen ini didedikasikan untuk seseorang yang merupakan tokoh utama di
cerpen ini dan juga untuk para pengambil pelajaran. Kisah ini nyata, sebuah
kejadian dari seorang sahabatku, saudaraku sesama muslimah yang kini juga telah
berpulang. Untuk saudaraku, syukran
atas sebuah kisah yang Insya Allah,
pelajarannya dapat diambil semua pembaca, dan afwan, kisah ini kutulis bukan untuk menunjukkan kehidupanmu, aku
mengambilnya untuk media dakwah, seperti cita-citamu. Semoga Allah
mempertemukanmu dengan abi ummimu di surga-Nya.
Salam
beriring do’a,
alFajarillah.
(Jelang
Fajar Ilahi)