Menjadikan Islam Sebagai Mab'da Kehidupan

Senin, 12 Maret 2012

Maulid Oh Maulid


Maulid Oh Maulid


            Besok maulid, perayaan maulid di SD adikku. Katanya berbagai lomba akan digelar di sana. Dan adikku ingin sekali mengikuti salah satu lombanya “Peragaan busana muslim”.
            “Kak, besok  empat hari lagi disekolahku ada maulid.” Katanya padaku dengan senyumnya.
            “Lalu?”
            “Aku mau ikut lomba di acara maulidnya, kak. Lomba peragaan busana muslim.”
“Kamu mau pakai baju apa? Bukankah pakaianmu sudah kurang bagus? Lagipula kalaupun beli itu kan tak mungkin.”
“Aku mau minta sama ummi aja deh,” dan iapun mengatakan niatnya pada ummi. Dari kejauhan, engkau mengangguk, ummi. Kulihat pada gerakan kepala muliamu itu, ah, aku tak dapat melihat, namun hatiku mampu merasakan. Ummi.. empat hari bukanlah waktu yang panjang untuk mencari uang untuk sekedar membeli gamis baru untuk adik, atau bahkan sekedar menjahitnya. Membeli? Makanpun hanya dengan nasi dan lauk yang dibagi tiga, bagaimana mau membeli? Andai abi....

Siang itu juga kau menuju pasar, ummi. Menanyakan harga gamis manis berenda dengan warna cokelat muda itu. Seratus tujuhpuluh lima ribu kata sang penjual dan kau hanya tersenyum lalu pamit, dengan tangan hampa kau menuju rumah. Air matamu tertahan saat kau melihat si adik, terganti senyummu. Ah, ummi, bahkan engkau masih sanggup tersenyum saat seharusnya engkau mengurai air mata dan menangis.

Malamnya, aku melihatmu melalui mata hatiku. Kau membongkar tabunganmu, menghitungnya. Seratus ribu, gumammu, dengan gumaman yang mengiris batinku. Petang tadi, engkau hanya makan sesuap nasi putih, telur dadar hambar tanpa garam yang dibuat olehmu hanya dibagi dua untukku dan adik. Satu berdua.
Seusai menghitungnya, kau keluar dan membasuh beberapa organ tubuhmu, berwudhu. Lalu masuk kembali untuk menunaikan enam rakaat shalat tahajjud yamg dilanjut tiga rakaat witir dengan air mata yang tak hentinya mengalir. Kau tangguh, namun hatimu begitu suci untuk mengaku lemah dihadapan-Nya.

Jam masih menunjukkan pukul tiga dinihari. Kau telah terbangun untuk memasak makanan yang akan kau jual. Mencuci pakaian yang semalam dititip tetangga untuk kau cucikan. Dan terakhir, pukul lima subuh, kau telah bersiap menjadi buruh di pasar tradisional yang berjarak hampir empat kilometer dari rumah dengan berjalan kaki. Ya ummi, tak sanggup aku membayangmu. Andai ada hal yang mampu kulakukan...
Siangnya tak lantas kau diam, engkau menyeterika pakaian tetangga yang telah kau cuci. Lalu mengantar ke rumahnya, mengetuk pintunya sampil membawa pakaian yang telah tertumpuk rapi, dan berdo’a, berharap Allah menitipkan rezeki-Nya melalui perantara hamba-Nya sedikit lebih banyak dari biasanya. Kau lupa akan makan dan minummu, bagimu, nafas sudah lebih cukup dari apapun, nafasmu adalah do’amu, do’a untuk anak-anakmu yang terkadang justru sering merepotkanmu, tak mungkin—katamu—mampu hidup tanpa bernafas. Yang kau ingat hanya ingin membahagiakan anak-anakmu dan mencurahkan cintamu pada-Nya.
Malamnya, seperti sebelum-sebelumnya, telur dadar hambar yang dibagi dua untukku dan adik, dan hanya sesuap nasi yang kau makan dengan alasan ‘Ummi tidak lapar, nak’.


Hari demi hari seakan berlangsung begitu saja, hanya meninggalkan serpihan-serpihan keletihan di wajah muliamu, ummi. Uangmu, untuk pagelaran busana itu, masih kurang, ummi. Bahkan kau menunda untuk membayar kontrakan kita, demi mengukir senyum di wajah anakmu. Ummi...
Bukankah hari ini adalah hari ketiga? Besok sudah pagelaran busana itu, ummi. Sudahkah uangmu terkumpul untuk mengukir senyum di wajah adik?  Sudahkah engkau bersiap mengurai senyum berair mata bahagia atas senyum anak terakhirmu, anak yang fisiknya tak kurang suatu apapun? Anak yang engkau kandung di rahimmu selama sembilan bulan dan melahirkannya dengan perjuangan antara dunia dan akhirat?
Kau hitung lagi uang tabungan yang kau kumpulkan, jumlah yang masih sangat kurang jika engkau tidak meminta keringanan harga pada si empunya toko. Kau menggenggam uang hasil tetes peluhmu dan berjalan penuh semangat menuju toko yang telah kau janjikan tiga hari yang lalu. Senyummu merekah, membayang wajah gembira si adik. Tapi, apa yang kau dapatkan? Gamis impian adik telah terjual! Nyaris kau luruh ke tanah. Hatimu retak, senyum si adik mendadak terhapus dari anganmu. Hasil jerih payahmu—untuk gamis murah dan bagus satu-satunya itu, gamis impian anak bungsumu—sirna sudah. Air matamu nyaris menetes, ummi. Wahai ummi, tersenyumlah. Genggam tanganku untuk membantumu berdiri.
Semangatmu kembali. Kau tak lantas menyerah. Kau sambangi toko kain, membeli kain panjang berwarna cokelat muda, warna yang begitu manis dan sederhana. Kau pandai memilih, ummi. Kau lantas pulang, menuju mesin jahit tua peninggalan abi. Memotong kain  dan mulai menjahitnya, air matamu terurai, ummi. Siang berganti petang, tak ada jeda bagimu untuk berhenti dan beristirahat selain tur spiritual untuk berbicara pada Allah melalui do’a-do’a di setiap sujud panjangmu dalam shalat yang penuh kesyahduan. Tak ada kata makan dan minum menurutmu saat engkau menjahitnya. Mendadak kau terbatuk, ummi. Tanganmu menggenggam darah bercampur dahak. Kau sakit ummi? Apakah itu akibat terlalu seringnya udara malam menyambangimu? Kau sakit, dan selama ini kau sembunyikan dariku? Ummi, maafkan anakmu yang tak seperduli engkau padaku.
Tapi, batuk itu tak menghentikanmu, ummi. Engkau terus menjahit, walau batuk itu berkali-kali datang dan berkali-kali juga darah itu terurai. Berkali-kali pula mesin jahit tua itu berulah merepotkanmu, tapi tak terdengar sedikitpun keluhan darimu, yang ada hanya beberapa nama-Nya melantun dari mulutmu yang begitu mulia. Ah, ummi..
Malam telah larut, dan kau masih terjaga untuk menyelesaikan gamis yang tiap jahitannya tersurat cintamu, untuk anak bungsumu. “Sudahlah, mi, ada baiknya ummi tidur dulu.” Ujarku. Namun, kau menjawabnya dengan halus. “Tanggung kak, sebentar lagi.” Tak terasakah lelah yang menumpuk di bahumu? 
Adzan subuh berkumandang, tepat saat kau menyelesaikannya. Seusai shalat subuh, kaupun rehat. Kau memintaku untuk menunjukkan gamis—yang kuyakin indah—itu pada adik, kau berkata, kau begitu lelah dan harus beristirahat. Adikku terbangun, dan minta ditunjukkan gamis yang ia minta untuk peragaan busana itu. “Kak, gamisnya mana?” tanyanya. Aku menyerahkan gamis jahitan ummi padanya, dengan senyum dan kemantapan hati. Ia meraihnya, dan membolak-baliknya. Aku tersenyum, aku yakin adik akan suka. Itu gamis dengan semangat terbaik seorang ibu, dik.
“Apaan nih?” nada suaranya terlihat kecewa, bahkan marah.
“Itu gamis yang dijahit ummi untukmu. Bukankah itu adalah gamis yang indah?”
“Apanya? Apanya yang indah? Kau buta karena itu kau tak bisa membedakan mana yang indah dan mana yang amburadul.”
Dia menyebutkan kekuranganku. Aku memang tak sesempurna dirinya, aku cacat, dan ummi sendiri tak mempersoalkan hal itu. Aku tak tahu apa itu indah, bagiku, perjuangan ummi adalah yang terindah. Apakah itu salah?
Jam menunjukkan pukul 6, dia menghina gamis itu tapi dia tetap menggunakannya. Aku yakin, dia cantik. Dia lebih dari sekedar cantik. Dia akan terlihat begitu manis. Do’aku menyertainya. Dan diapun berangkat.
Aku membangunkanmu, ummi. Tapi engkau masih terlelap dalam tidurmu. Apakah itu adalah mimpi yang panjang nan indah? Akupun membiarkanmu beristirahat, tidurmu begitu lelap, ummi. Ah, andai aku dapat melihat wajahmu yang mulia itu.
Sebelum dzuhur, adik pulang. Dari jauh aku mendengar teriakannya memekik, menyebut panggilanmu, ummi. Ia menjuarai lomba itu! Juara atas gamismu, gamis yang dibuat penuh cintamu. Takkah kau bangga, ummi? Ummi? Apakah kau tak hendak terbangun dan melihat senyum anak bungsumu yang kini bersimpuh dihadapanmu? Bersimpuh untuk mengucap terimakasihnya padamu. Lihat senyumnya, ummi..
“Kak, ummi.. apakah ia tak mau bangun?” tanyanya padaku.
Sebentar, sepertinya aku mengetahui arah ucapannya. Maksudnya kau telah.. Ummi? Bangunlah, lihat senyumnya. Ummi, bangunlah, jangan terbuai mimpi, kami membutuhkanmu, ummi. Ummi tolong, tanganmu dingin, ummi..
Aku terkesima, lengkingan jerit adikku menyadarkanku...



“Ummi, tunggu aku di surga-Nya. Aamiin.”









Catatan kecil: Cerpen ini didedikasikan untuk seseorang yang merupakan tokoh utama di cerpen ini dan juga untuk para pengambil pelajaran. Kisah ini nyata, sebuah kejadian dari seorang sahabatku, saudaraku sesama muslimah yang kini juga telah berpulang. Untuk saudaraku, syukran atas sebuah kisah yang Insya Allah, pelajarannya dapat diambil semua pembaca, dan afwan, kisah ini kutulis bukan untuk menunjukkan kehidupanmu, aku mengambilnya untuk media dakwah, seperti cita-citamu. Semoga Allah mempertemukanmu dengan abi ummimu di surga-Nya.
Salam beriring do’a,
alFajarillah.
(Jelang Fajar Ilahi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar