Menjadikan Islam Sebagai Mab'da Kehidupan

Jumat, 08 Juni 2012

Karena Allah Menyayangimu

"...Karena Allah menyayangimu, Ia menciptakanmu.
Karena Allah menyayangimu, Ia titipkan amanah langit di bahumu
Karena Allah menyayangimu, Ia percaya dirimu mampu
Percayalah, karena Allah menyayangimu, Ia ciptakan air mata untukmu
Karena Allah menyayangimu, Ia ciptakan orang sekitarmu tersenyum untuk menguatkanmu
Semua takkan terjadi, kecuali karena Allah Menyayangimu..."
-Multazimah Mumtaz,  ditulis kala air mata seharmonis nada air hujan. :)
# # #

   "..aku hanya seorang remaja biasa, hingga akhirnya aku merasa Dia memelukku dengan cintanya dan mengubah separuh jalan hidupku.." Jemari Hanin yang sedari tadi menarikan pena mendadak terhenti, suara ketukan di pintu kamarnya membuat ia mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk karena menulis di meja belajarnya.
   "Dik, aku boleh masuk?" Suaranya khas, itu suara Laila, kakak satu-satunya Hanin.
   "Masuk aja, kak. Gak dikunci kok." jawab Hanin agak sedikit dingin.
   Perlahan Laila memasuki kamar Hanin, lalu duduk di tepian kasur. Hatinya bergemuruh tak keruan. Keheningan tak kunjung terpecah sejak ia melangkah masuk ke kamar adik semata wayangnya itu."Dik.. Kamu gapapa kan?" Tanya Laila, lembut. 
   "Menurut kakak?" Jawab Hanin dengan agak ketus.
   "Dik, aku ngerti perasaanmu.."
   "Kakak nggak ngerti apapun tentang aku, termasuk perasaanku!" Potong Hanin tanpa menunggu kalimat laila terselesaikan.
   "Dik.."
   "Keluar! Dan jangan ganggu aku!" bentak Hanin pada  Laila. Laila menurut, air matanya terjatuh saat pintu kamar Hanin ditutup kasar.Hanin terduduk bersandar pintu, air matanya tak urung ikut terjatuh, tulisannya tadi ia sobek paksa dari buku lalu ia remas remas dan akhirnya mendarat manis di tempat sampah.


~Keesokan Pagi~
Laila's Side


   "Dik, sarapan dulu, baru berangkat sekolah." Ujarku saat meliat Hanin menuruni tangga. Jaket bertudung warna biru dongker favoritnya menutupi kepalanya yang terbalut kerudung. Bola basket oranye hitam melompat-lompat mengikuti gerakan tangannya.
   "Gak lapar." Jawab Hanin sambil tetap memantulkan bola basketnya.
   "Tapi kamu harus tetap sarapan, dik. Nanti kalo kamu.." Ucapanku menggantung tanpa terselesaikan.
   Hanin tetap melangkah keluar. "Berangkat, kak. Assalamu'alaikum."
   "Wa'alaikumsalam." Jawabku sambil menghembuskan nafas.


   Hari ini kuliahku kosong, setidaknya aku punya cukup waktu untuk lebih mengenal siapa adikku itu. Akupun melangkah ke kamarnya. Hanin. Nama yang sebetulnya sangat kurindukan. Kamar Hanin tak terkesan kamar seorang akhwat, apalagi kalau sudah SMA seperti dirinya. Hanin ternyata tak seperti namanya, stik baseball, mobil R/C, miniatur mobil. Aku yakin takkan ada yang mengira ini kamar seorang akhwat seperti dirinya. 
   Pandanganku beralih ke rak bukunya. Hmm, lima belas tahun tak bertemu membuatku terkesima akan tingkah lakunya. Sastra?! Hal yang langka di keluarga kami yang rata-rata politikus dan pengusaha. Kedua kakekku adalah pengamat hukum, sementara nenek dari papa adalah seorang pengusaha, dan nenek dari iu adalah seorang aktivis sosial yang juga memiliki beberapa usaha. Tak tahu darimana darah sastra Hanin mengalir, aku kembali tercengang. sebuah buku harian!! Dengan cover hitam bergambar siluet kucing warna putih. Aku gemetar memegangnya, hatiku mengatakan untuk membacanya, namun nuraniku masih menolak. 
   "Hanin, lima belas tahun tak bertemu, membuatku tak mengenali kalau kau adikku, dik. Bahkan aku tak ingat aku memiliki adik. Usiamu yang hanya terpaut lima tahun dariku membuatku belum bisa mengingat dengan begitu kuat. Maafkan aku ya, dik." gumamku. Air mataku menetes. Tekadku bulat, aku akan membaca buku harian Hanin. Namun..
   "Kriiingg.." telepon rumahku berbunyi. Segera aku menjawabnya. "Halo, Assalamu'alaikum."

   "Wa'alaikumsalam, dengan saudaranya ananda Hanin?"
   "Ya, saya kakaknya. Ada apa ya?"
   "Kami dari pihak rumah sakit, adikmu sedang dirawat di RS al-Khair karena kecelakaan. Ia ditabrak lari oleh mobil. Bisa anda segera kesini?"
   "Innalillah, baik, saya akan segera kesana. Assalamu'alaikum."
   "Wa'alaikumsalam."
   Aku kalut, pikiranku tak tentu arah. Dengan bergegas aku mengambil kunci mobil peninggalan papa dan mengemudikannya menuju rumah sakit yang dimaksud.


  *R.S Al-Khair.*


   Dengan setengah berlari aku memasuki rumah sakit. Gamis hijau muda dengan balutan kerudung warna senada yang kupakai sedikit berkibar. Tujuanku meja informasi, tapi dimana? Ya, disana rupanya. Wajahku pucat pasi saat hendak menuju meja informasi, sebuah bangsal berisi pasien yang berlumuran darah melintas tepat didepanku. Pasiennya seorang perempuan dengan balutan seragam putih abu-abu berlapis jaket biru dongker! Hanin! Jantungku berdetak tak keruan saat melihatnya. Dia Hanin, adikku.Adik yang baru kutahu setelah lima belas tahun dari surat yang papa tulis sebelum menyusul kepergian mama karena kanker rahim yang diidapnya.Adik yang diadopsi orang setelah mama melahirkan karena kondisi ekonomi kami yang saat itu sedang kacau, krisis moneter kala itu penyebab perusahaan papa bangkrut.
   Bangsal itu menuju ICCU. Air mataku tumpah, tanpa sadar aku berteriak menyebut nama adik semata wayangku itu.




# # #


   Buku harian Hanin masih kupegang, disisiku Hanin masih belum sadar, bajunya telah terganti dengan baju pasien. Kepalanya tak lagi terbalut kerudung putih yang biasa ia kenakan. Rambutnya yang panjang terurai dengan perban yang melingkari kepalanya. Wajahnya pucat pasi. Aku menatap wajahnya lama. Itu wajah yang sama denganku, mata yang sama denganku yang kini terpejam. Ah, kami mirip. Jelas, ia adik kandungku, adik yang luar biasa di mataku, adik yang harus dikorbankan demi hidupku. Adik yang harus kutemukan kembali untuk membayar hutang budiku, papa juga mama. 


Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
Allah, kenapa harus sekarang? Setelah lima belas tahun aku bersama Ummi dan Abi, kenapa baru sekarang Engkau ungkap rahasia yang begitu besar dalam hidup hamba? Kenapa baru Kau buka hati mereka tentang kehadiranku  setelah mereka pergi? Kenapa Engkau tak sempatkan hamba mencium tangan mereka? Mereka, papa dan mama kandungku, ya Allah. Seharusnya hamba berbakti pada mereka, mendo'akan mereka dalam tiap do'a syahdu dalam malam yang melarut. Allah, apakah hamba bisa menyayangi mereka sebagaimana hamba menyayangi Ummi Abi hamba yang telah membesarkan hamba? Apakah hamba bisa menerima Ka Laila sebagai kakakku sebagaimana hamba menganggap Mas Fadhly, Mas Arifin, dan Mas Ilyas sebagai abangku?
Allah, ini sulit, namun, mudahkanlah. Ini berat, namun, ringankanlah. Hamba ingin berbakti pada mereka, untuk membayar pengorbanan mama dalam merawat hamba kala dalam perutnya, mebayar letihnya mama dalam senyuman setelah berjuang antara hidup dan mati dalam melahirkan. Allah, hamba memang tak bisa mencium tangan mama dan papa hamba, namun tolonglah bayarkan kerinduan hamba atas sosok yang hamba rindukan. Engkau Maha Adil ya Allah, jadikan do'a hamba adalah do'a yang melantun untuk Abi dan Ummi, mas Fadhil, mas Arifin, mas Ilyas juga untuk papa dan mama serta Ka Laila. Aamiin.
#######


    Air mataku mengalir deras, do'a tulus dari seorang anak yang ikhlas dikorbankan, meski tak seperti Ismail yang harus disembelih Ibrahim, ayahnya sendiri. Aku menatap Hanin, ia masih terlelap dalam koma-nya. Aku membuka halaman yang terselip pembatas, halaman terakhir yang ia tulis.


#######
Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang.
 Allah, menganggap seseorang menjadi seorang kakak itu sulit. Hamba sudah mencoba menerima Ka Laila dengan tulus ikhlas, tapi nyatanya hamba masih tak mampu. Hamba belum ikhlas menerima semua kenyataan ini, hamba masih merindukan bermain basket bersama abang-abang hamba, hamba masih rindu dipeluk Ummi, hamba masih rindu pujian Abi. Hamba rindu curhat dengan Ummi dengan diselipkan kata kata bijak ummi dalam tiap candanya.
Allah, hamba merasa bersalah dengan Ka Laila, Ka Laila sudah mencoba menjadi pengganti papa dan mama, tapi hamba belum bisa  menerimanya. Hamba sering membentak Ka Laila, mengabaikannya dan melakukan tindakan kasar padanya, tapi Ka Laila tetap sabar. Mungkin Ka Laila benar benar bisa merasakn perasaanku.
Harusnya hamba bersyukur, hamba punya papa dan mama (meski mereka telah Kau panggil) dan hamba juga punya Abi dan Ummi (yang selalu menganggap hamba anak mereka), hamba punya Mas Fadhli, Mas Arifin dan Mas Ilyas (yang terkadang suka mengusili hamba) dan hamba juga punya Ka Laila (yang selalu berusaha memahami hamba). Hamba seharusnya bersyukur, ini amanah langit yang Engkau percayakan pada hamba untuk memikulnya, Engkau percaya bahwa bahu hamba akan kuat menahan amanah ini. Air mata ini, tanda Engkau menyayangi hamba. Dan.... Engkau kirimkan orang orang yang selalu tersenyum untuk menguatkan hamba :)
Ini amanah dari-Mu, dan hamba yakin, hamba bisa menjadi hamba-Mu yang berguna bagi mereka. Mereka semua yang menyayangi hamba. 
 #######


     Air mataku banjir kembali untuk yang kesekian kalinya. Menjadi seseorang yang memiliki dua keluarga yang sama sama menyayanginya memang berat, dituntut untuk bersikap adil. Tapi ini bukan atas kemauannya, tapi atas keikhlasannya menjadi seorang hamba Allah. 




    "Kak... maafin Hanin ya, Hanin janji akan menyayangi Ka Laila tanpa membedakan dengan abang-abang Hanin.." Ucap Hanin kala ia terbangun dari komanya dan melihatku menangis.


    Aku Menyayangimu, adikku. Karena Allah :)




##############################################################################









cerpen ini dibuat untuk hiburan semata, kejadian, tokoh, nama atau apapun yang sama yang menjadi unsur cerpen ini bukan karena disengaja, maaf kalau ada kata-kata yang meyinggung atau membuat pembaca sakit hati. Jazakumullah Khairan Katsiran.

salam beriring do'a

Jelang Fajar Ilahi (alFajarillah)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar